Jumat, 22 Mei 2015

PSIKOLOGI PENDIDIKAN - EMOSI

A. Pengertian Emosi
Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, exicte yang berdasarkan kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati bergerak keluar.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai suatu reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan dan surut dalam waktu yang singkat. Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu gejolaksuasana batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization.[1]
Dari berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa emosi merupakan reaksi psikologi seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu tindakan, misalnya menangis, marah, benci, takut, sedih, haru, cinta, muak, bahagia dan lain-lain.

B.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi

1.      Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami antara lain adalah:
a.                  Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak sehingga timbul ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka alami.
b.                  Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
c.                  Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide mereka.
d.                 Merasa tidak mampu atau bodoh.
e.                  Merasa tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
f.                   Merasa menderita karena iri terhadap saudara karena disikapi dan dibedakan secara tidak adil.
2.      Faktor eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor yang mempengaruhi emosi adalah :
a.       Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan.
b.      Apabila dirintangi, anak membina keakraban dengan lawan jenis.
c.       Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong, misalnya mereka lebih banyak disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru, akan cenderung menjadi marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang keinginan orang tua, mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak (destruktif).
d.      Disikapi secara tidak adil oleh orang tua, misalnya dengan cara membandingkan dengan saudaranya yang lebih berprestasi dan lainnya.
e.       Merasa kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu.
f.       Merasa disikapi secara otoriter, seperti dituntut untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
C.    Perkembangan Niai, Moral dan Sikap
Nilai (value) merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama, dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988 : 5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain:
1.    Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.    Mengembangkan sikap tenggang rasa.
3.    Tidak semana-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwodarminto, 1957 : 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut, perasaan terancam dan keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah kesiapan seseorang untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa sikap itu adalah kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang, dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Menurut Danel Suasanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan seperti dibawah ini :
1. perubahan Fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsu. Disamping itu tanda-tanda seksual sekunder telah mulai nampak pada diri remaja.
2. perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
            Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
 Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tahap IV Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, antara lain:
1.    Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
2.    Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu ataupun sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.
3.    Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
4.    Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua tidak mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orangtuanya.[2]
Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja telah mencapai pada tahap moralitas hasil interaksi yang seimbang yaitu secara bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
1.    Pandangan moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata mutiara.
2.    Pandangan moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
3.    Penilaian moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4.    Penilaian moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
5.    Penilaian moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis. Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.
Apa yang terjadi dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala sertra tingkah laku orang lain. Diantara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh didalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah:
1.    Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya  yang mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan  dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Disekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma moral.
2.    Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen yang senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru.[3]


[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011 hlm 80
[2] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya), 2013. Hlm. 133-134.

[3] Jum’atun Nikmah, 2012, PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP, https://jumatunnikmah.wordpress.com/2012/06/02/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/, diakses tgl 10 Mei 2015, jam 15.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar